Kamis, 16 November 2017

Aksi Solidaritas Melakukan Kampanye #ShareYangBaik ( Teliti, Telusuri, Berbagi ) di CFD, 19 November 2017

Picture by Siti/Asih


PENDAHULUAN

Dulu, bicara soal komunikasi massa, tidak lepas dari media massa. Namun perkembangan teknologi yang pesat mengubah rumusan ini. Media sosial hadir menawarkan sesuatu yang baru. Sarana dimana orang biasa, bisa jadi apa saja dan melakukan apa saja, serta diketahui atau dikenal banyak orang. Andreas Kaplan dan Michael Haenlein mendefinisikan media sosial sebagai “sebuah kelompok aplikasi berbasis internet yang membangun di atas dasar ideologi dan teknologi Web 2.0 , dan yang memungkinkan penciptaan dan pertukaran user-generated content”. Sementara hubungan antarmedia sosial disebut jejaring sosial. Dalam berjejaring, media sosial atau catatan online pribadi bisa saling terhubung satu sama lain dan saling berinteraksi. Sebut saja Facebook, Twitter, Path atau Instagram. Belakangan media dengan platform aplikasi pesan gratis pun menjamur. Ada Line, Whatsapp, Telegram dan lain sebagainya. Kita merasakan bagaimana terobosan dalam teknologi komunikasi dan informasi ikut mengubah wajah dunia. Kini, setiap warga memiliki kemampuan untuk menyuarakan
opininya dan mengakses beragam informasi yang ada dikarenakan perkembangan teknologi informasi. Bahkan bisa dikatakan, ikut menyertai perjuangan kebebasan pers dunia. Media sosial mengajak siapa saja yang tertarik untuk berpertisipasi dengan memberi kontribusi dan feedback secara terbuka, memberi komentar, serta membagi informasi dalam waktu yang cepat dan tak terbatas. Belakangan ini, media sosial pun mengambil peran media masa dalam menyampaikan informasi. Orang berlomba menjadi yang pertama dalam menyebarkan informasi baik berupa teks,  gambar atau video. Di era digital saat ini memungkinkan setiap orang bisamenjadi pemberi informasi. Euphoria semangat kebebasan berpendapat pun dicurahkan dalam media sosial. Bahkan, orang tak segan merudung, melabeli, menuding, dan menggalang opini secara terbuka melalui media massa. Peluang inilah yang ditangkap sebagian media daring yang tidak mengedepankan proses kerja jurnalistik. Isi situsnya hanya duplikasi atau mengolah berita yang sudah seliweran di dunia maya. Judul diubah, atau ditambahi, serta diramu untuk menaikkan jumlah pembaca. Tak ada proses verifikasi atau wawancara, bahkan mencantumkan sumber awalnya. Tidak sedikit pula yang fiktif, atau hoax.

MASALAH

Penyebab hidupnya hoax adalah rendahnya budaya literasi di Indonesia. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyebutkan, hasil penelitian Programme for International Student Assessment (PISA), Indonesia menempati peringkat 64 dari 65 negara yang rendah budaya literasinya. Data statistik UNESCO tahun 2012 menyebutkan indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001. Artinya, setiap 1.000 penduduk, hanya satu orang saja yang memiliki minat baca. Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika Niken Widyastuti, dalam laman lpminstitut.com, menyebutkan, penyebaran berita hoax juga didukung oleh pola komunikasi masyarakat saat ini. Dari 100 berita hoax yang beredar, yaitu 10 persen diantaranya adalah berita asli, selebihnya disebarkan secara suka rela oleh netizen.
Indonesia pun baru memiliki payung hukum sekelas peraturan menteri untuk menumbuhkan menumbuhkan budi pekerti anak melalui budaya literasi, melalui Permendikbud No 23 tahun 2015. Hal yang sudah dibangun Jepang, lebih dari setengah abad lalu. Di Jepang, ada budaya Tachiyomi. Tachiyomi berasal kata tachimasu yang berarti berdiri dan yomimasu yang berarti membaca; membaca sambil berdiri. Mengajak masyarakat saat ini untuk membaca, pastinya tak mudah. Terlebih harus bersaing dengan gadget yang menawarkan segala sesuatu di ujung jari. Indonesia, bahkan menempati urutan kedua paling buncit untuk masalah literasi dari survei yang dilakukan The World’s Most Literate Nations (2015). Sebelumnya pada tahun 2012, UNESCO, organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa, menyatakan indeks membaca bangsa Indonesia hanya 0,001. Artinya, di antara 1.000 orang, hanya satu orang yang membaca secara serius.
Budaya literasi diyakini dapat menangkal berita palsu atau hoax. Hoax bukan saja jadi momok di Indonesia, tetapi di seluruh dunia. isu politik dan SARA paling sering diangkat jadi materi untuk konten hoax. Menurut riset Masyarakat Telematikan Indonesia, isu sensitif soal sosial, politik, lalu suku, agama, ras, dan antar golongan, dimanfaatkan para penyebar hoax untuk memengaruhi opini publik. Dalam riset Mastel, sebanyak 91,8 persen responden mengaku paling sering menerima konten hoax tentang sosial politik, seperti pemilihan kepala daerah dan pemerintahan. Tidak beda jauh dengan sosial politik, isu SARA berada di posisi kedua dengan angka 88,6 persen. Bentuk konten hoax yang paling banyak diterima responden adalah teks sebanyak 62,1 persen, sementara sisanya dalam bentuk gambar sebanyak 37,5 persen, dan video 0,4 persen. Pentingnya literasi dalam membentuk pemahaman masyarakat ketika menerima hoax, bagaimana cara mereka menghadapi berita palsu yang diterima. Selain masalah hoax, ujaran kebencian pun marak. Tak sedikit pelakunya adalah anak. Lagi-lagi ini karena kebencian yang ‘diwariskan’ oleh orangtua atau si anak yang terpapar pemahaman yang keliru. Maraknya ujaran kebencian di masyarakat Indonesia telah menimbulkan beberapa konflik horizontal. Rasa benci menutup hati untuk mempercayai informasi yang bertentangan dengan pendapatnya. Semua menjadi bias. Tenggang rasa, empati dan persaudaraan menjadi terkoyak hanya karena beda pandangan. Di beberapa daerah bahkan terjadi aksi massa atau bentrok fisik. Bentuk-bentuk ujaran kebencian: penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, provokasi, penghasutan dan penyebaran berita bohong, bisa berdampak pada tindakan diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, maupun konflik sosial. (/lefi-JPK)

KEGIATAN

Dalam rangka meningkatkan literasi dalam mitigasi hoax dan ujaran kebencian, Aksi Solidaritas Kalimantan ;Barat, akan melaksanakan kegiatan kampanye #shareyangbaik. Aksi ini mengenalkan kepada masyarakat luas, bagaimana menangkal hoax serta ujaran kebencian. Aksi ini sedianya akan digelar pada :

Tanggal : 19 November 2017
Lokasi   : Car Free Day Kota Pontianak
Jam       : 06.00 Wib

Datang dan dukung bersama komunitasmu. Foto aksimu dengan tagar #shareyangbaik. Jadikan aksi ini wujud nyata sosialisasi ‘melek’ media digital yang menyeluruh. Dengan meningkatnya literasi media digital, maka tindakan tak terpuji di dunia maya, seperti hoax atau berita bohong, ujaran kebencian, dan perundungan bisa kita bendung.

Aksi Solidaritas Kalimantan Barat


Tidak ada komentar:

Posting Komentar