Assalamu'alaykum sahabat,
Pernahkah kita dipuji atau memuji seseorang yang menurut kita dia pantas untuk dipuji ?
Al-‘Allamah Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin telah menjelaskan secara rinci dalam syarh kitab Riyadhus Shalihin (hal. 564-565) berkaitan dengan hukum memberikan pujian kepada saudara semuslim di hadapannya. Beliau berpendapat, ada beberapa rincian dalam hal ini :
Kondisi pertama
Jika pujian tersebut di dalamnya terdapat kebaikan dan dorongan
motivasi untuk memiliki sifat-sifat yang terpuji dan akhlak yang mulia,
maka pujian tersebut boleh, karena bertujuan untuk memotivasi
saudaranya. Jika engkau melihat seseorang yang dermawan dan pemberani,
dan ia mencurahkan dirinya dan berbuat baik kepada orang lain, maka
engkau menyebut dirinya dengan apa yang ada pada dirinya dengan tujuan
memotivasi dan mendorongnya agar ia senantiasa berada di dalam kebaikan.
Ini adalah suatu hal yang baik, dan termasuk dalam firman Allah (yang
artinya), “Tolong-menolonglah kalian dalam kebaikan” (QS. Al Maidah: 2)
Kondisi kedua
Jika memujinya untuk menjelasakan kepada orang lain tentang
keutamaannya, menyebarkan dan memuliakannya di hadapan manusia, maka hal
itu boleh. Sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap Abu Bakar dan ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma.
Mengenai Abu Bakar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya pada suatu hari, “Siapa
di antara kalian yang pagi ini berpuasa?” Abu Bakr menjawab, “Saya.”
Nabi bertanya lagi, “Siapa di antara kalian yang mengiringi jenazah?”
Abu Bakr menjawab, “Saya.” Nabi bertanya, “Siapa yang bersedakah?” Abu
Bakr menjawab, “Saya” Nabi bertanya, “Siapa di antara kalian yang
menjenguk orang yang sakit?” Abu Bakr menjawab, “Saya.” Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam pun berkata, “Tidaklah semua hal itu terkumpul pada
seseorang kecuali dia akan masuk surga.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga berkata tentang ‘Umar, “Sesungguhnya setan tidak akan melewati suatu jalan kecuali jalan yang berlainan dengan jalanmu (‘Umar)”.
Dua riwayat di atas menunjukkan keutamaan Abu Bakar dan ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma.
Kondisi ketiga
Memujinya secara berlebihan dan mensifati dengan apa yang tidak ada
pada dirinya, maka hal ini hukumnya haram dan sama dengan menipu.
Contohnya mengatakan bahwa seseorang itu adalah seorang pemimpin,
menteri, atau kata-kata semisalnya, berlebih-lebihan dan mensifatinya
dengan pujian padahal hal itu tidak dijumpai pada dirinya . Hal ini
jelas haram dan membahayakan bagi yang dipuji.
Kondisi keempat
Memuji realita yang sebenarnya ada di dalam dirinya, namun
dikhawatirkan yang dipuji tertipu dengan dirinya sendiri, menjadi besar
hati, dan merasa tinggi dibandingkan yang lainnya. Maka hal ini hukumnya
juga haram dan tidak boleh dilakukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar