Minggu, 14 Oktober 2018

Panggil dia Ainun dan Bu Yanti, Aktivis lingkungan yang progresif dari Kota Pontianak

21.14 0 Comments


Alhamdulillahirabbil alamiin,

Buku yang kutunggu-tunggu hampir 5 bulan ini akhirnya sudah selesai di garap di percetakkan. Buku yang diberi nama Srikandi Tangguh ini garapan dari 13 orang penulis berasal dari Kalimantan Barat dan dari beberapa kota lain yang memiliki keinginan yang sama untuk menulis tentang sosok-sosok perempuan yang sangat inspiratif dalam memberikan sumbangsihnya untuk lingkungan. 13 Orang penulis tersebut adalah :




1. Ida Nurfitriana
2. Elyza Arief
3. Tinie Hanayu
4. Julia Haskari
5. Rika Kartika Sari
6. Alin Tersiana
7. Ida Jumiati
8. Masruraini
9. Endah Purwatiningsih
10. Khadijah
11. desy Khairani
12. Mila Famila
13. Nelly Kurnia

Beberapa diantara penulis di atas sangat saya kenal dan kami akrab sekali apalagi yang berhubungan dengan blog dan peulisan. Kami adalah para emak-emak yang menginginkan sejarah kami nantinya dibaca dan diketahui oleh anak dan cucu kami lewat tulisan-tulisan ini. Let see...Kak Elyza Arief yang tulisan-tulisan kece  beliau seputar Dapur dan masak-memasak dapat dilihat dan dibaca di blog dapurbundaelyza.com. Dijamin saat dan setelah membacanya akan berkeinginan untuk mencoba resep masakan beliau. Soal hasil, InsyaAllah uenaak tenant.  

Ada juga kak Mila Famila, yang gentol nulis tentang Halal Food Indonesia bil khusus tentang halal food Pontianak. Bisa tongkrongin blog beliau di http://milafamila.blogspot.com/, sepertinya blog beliau lagi dalam renovasi ni....

Trus ada adik kita Khadijah, seorang pengusaha muda lulusan pesantrean dari Pulau Jawa yang lagi merintis usahanya lewat SPA Muslimah, bisa pantau blog pribadinya di https://khadijahism.blogspot.com/ atau lirik-lirik SPA Muslimahnya di http://aurakhadijah.com/

Ok, balik lagi ke Buku Srikandi Tangguh. 

Buku ini mengangkat tentang pesona-pesona perempuan yang dibalik kelembutannya dan keanggunannya terselip perjuangan-perjuangan inspiraitf yang patut dicontoh dan disyukuri. Karena kegigihan mereka dalam memperhatkan lingkungan. 

Saya sendiri mengangkat 2 Profil perempuan yang sangat saya kagumi atas kerja kersanya dalam membantu pemerintah memberikan solusi terhadap masalah sampah dan masalah sosial.

Perempuan pertama saya mengangkat tentang profil Ibu Zulkardianti. Orang Pontianak bahkan orang di luar Pontianak pasti akrab dengan nama ini. Lebih spesifik Bu Yanti Bank Sampah Rosella, kenal khaan ?  

Profil yang ke dua, yaitu AINUN, nah kalau yang ini siapa yang tak kenal ? Ainun dari Kampung Beting. Generasi Muda yang mampu membuktikan kalau Beting sekarang sudah berubah menjadi lebih baik. Red Zone untuk kawasan ini sedikit demi sedikit pasti akan hilang dengan sendirinya. Pandangan negatif tengan kawasan ini juga akan berganti dengan beribu prestasi dari anak-anak Beting itu sendiri. Ada Ainun di situ yang cukup keras berjuang tentunya bersama rekan-rekannya yang lain  hingga akhirnya kawasan ini di llirik Pemerintah menjadi kawasan unggulan wisata. Ada Rumah Batik juga disitu sekarang. 

Penasaran dengan ceritanya, yuuk baca dan PO buku kami " Srikandi Tangguh " ke no WA 081349613900.

Minggu, 13 Mei 2018

Pendidikan Itu Tanggungjawab Siapa ?

00.35 0 Comments

pendidikan itu tanggungjawab siapa ?
bagaimana membiayainya ? 
dari mana sumber dananya ? 
kemana saja dibelanjakan ? 
dan apa hasilnya ?
Apakah pendidikan di daerah merupakan tanggungjawab Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah? 
Dalam bentuk apa masyarakat dapat berpartisipasi?

Inilah daftar panjang pertayaan kita semua tentang potret pendidikan di Negeri ini dan semuanya harus kita temuka solusinya.

Kita baca data berikut ini :

Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) melakukan penelitian Right to Education Index (RTEI) guna mengukur pemenuhan hak atas pendidikan di berbagai negara. Hasil penelitian menyatakan kualitas pendidikan di Indonesia masih di bawah Ehtiopia dan Filipina


Penelitian ini dilakukan di 14 negara secara random, yakni Inggris, Kanada, Australia, Filipina, Ethiopia, Korea Selatan, Indonesia, Nigeria, Honduras, Palestina, Tanzania, Zimbabwe, Kongo dan Chili.

Penelitian ini dipublikasikan dalam 'International Seminar and Report Launch' di Hotel Santika, Jalan Pintu 1 TMII, Ceger, Cipayung, Jakarta Timur, Kamis (23/3/2017), dengan mengangkat tema 'Bridging The Gap Between Education Policy and Implementation'. 



Berikut urutan peringkat kualitas pendidikan berdasarkan RTEI:

1. Inggris : 87%
2. Kanada : 85%
3. Australia : 83%
4. Filipina : 81%
5. Ethiopia : 79%
6. Korea Selatan : 79%
7. Indonesia : 77%
8. Nigeria : 77%
9. Honduras : 77%
10. Palestina : 76%
11. Tanzania : 73% 


Pendidikan di Indonesia mengalami akselerasi merosot tajam dalam lima (terutama tiga) dekade terakhir dibanding negara lain. Lalu apa yang harus dilakukan oleh Negara dan pemerintah? Salah satu tujuan negara yang tertuang dalam UUD 1945 bahwa “…mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia….”. hal ini berarti Negara diharuskan terlibat penuh dalam pencerdasan kehidupan bangsa. Ukuran keberhasilan pendidikan di setiap negara khususnya Indonesia ialah sejauh mana pendidikan nasional yang digeliatkan merupakan usaha yang relevan di tinjau dari amanah konstitusi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Sejauh mana pendidikan mendatangkan kesejahteraan bagi bangsa. Sejauh mana pendidikan berhasil membangun sebuah bangsa yang bermartabat, kokoh dan maju. Pendidikan merupakan aspek paling penting pada sebuah peradaban bangsa. Dengan pendidikan yang berkualitas dan berkarakter dapat dipastikan sebuah bangsa dapat mengoptimalkan pembangunannya.
Dari data Indeks Pembangunan Pendidikan Untuk Semua atau Education For All di Indonesia menurun. Jika pada 2010 lalu Indonesia berada di peringkat 65, tahun 2011 merosot ke peringkat 69. Gambaran singkat mengesankan bahwa pendidikan di Indonesia sangat tertinggal jauh di bawah Malaysia apalagi Jepang. Meski Indonesia saat ini masih jauh lebih baik dari Filipina (85), Kamboja (102), dan Laos (109). Banyak hal yang menyebabkan kondisi pendidikan di Indonesia terpuruk seperti ini. Sistem pendidikan di Indonesia yang tidak stabil, anggaran pendidikan yang kurang tepat sasaran, kualitas sumber daya pengajar yang kurang diperhatikan, serta Infrastuktur pendidikan yang belum memadai menjadi penyebab selanjutnya.
Mahasiswa adalah generasi penerus bangsa, ditangan para pemuda (mahasiswa)-lah masa depan sebuah bangsa ,mahasiswa dituntut untuk mampu meningkatkan pemahaman dan kompetensinya, dan ikut serta dalam mengatasi keterpurukan yang tengah dialami bangsa ini. Mahasiswa diharapkan lebih peka dalam menanggapi masalah seputar pendidikan, karena pada hakikatnya mahasiswa adalah jembatan intelektualisme dari pemahaman komsep pada tatanan realitas. Oleh karena itu mahasiswa harus memiliki kontribusi terhadap mutu pendidikan bangsa. Apa aja yang harus dilakukan mahasiswa?
1. Pengembangan Potensi Diri
Sebagai bentuk kesadaran akan hakikat pendidikan yang mendasar. Mahasiswa diharapkan mengembangkan kemampuan dirinya sehingga menjadi sebuah sumber kekayaan intelektual yang akan berguna bagi kemajuan diri dan lingkungannya.
2. Melakukan Control Kebijakan Pemerintah
Khususnya kebijakan mengeenai penentuan arah dan karakteristik pendidikan bangsa. Agar tercipta peningkatan pendidikan yang berkarakter sesuai dengan pancasila.
3. Memenuhi Kebutuhan Akan Perbaikan System Pendidikan Nasional

Mahasisa harus mampu menjawab dan mencari solusi atas kebutuhan-kebutuhan akan system pendidikan di Indonesia. Mahasiswa adalah agen of change (agen pengubah), agen pembelajar. Kampus adalah sebuah sumber yang menjadi muara tempat menimba ilmu membutuhkan dua bahan dasar utama; mahasiswa dan sistem . Potensi-potensi yang dimiliki mahasiswa merupakan ‘amunisi mutakhir’ dalam pemberantasan problematika yang ada dalam masyarakat terutama dalam lingkup pendidikannya. Mereka yang sudah tercerahkan dari dunia kampus harus melakukan pencerahan kembali kepada masyarakat yang mana dengan segala keterbatasannya. Mahasiswa dapat memberi bekal kepada masyarakat tentang pentingnya pendidikan dan pentingnya pendidikan yang berkarakter kepada anak-anak yang diajarkan sejak usia dini. Sehingga peran mahasiswa di sini dapat mengubah tatanan pendidikan ke arah yang lebih baik, yaitu pendidikan yang berkarakter. Sesuai dengan Hadits “ Inna Fii Yaadi Subban Amrul Ummah “ yang artinya ditangan pemuda (mahasiswa) lah masa depan sebuah bangsa. ( diolah dari beberapa sumber )

Jumat, 11 Mei 2018

PPSW BORNEO INGIN PUKM MEMILIKI TOKO VIRTUAL LEWAT PELATIHAN BLOG

23.39 0 Comments




























Sebagaiamana diketahui bahwa UKM di Indonesia pada tahun 2016 diperkirakan mencapai 56 juta usaha. Dari jutaan UKM yang telah merayapi dunia kerja di Indonesia, terdapat 107 juta manusia yang telah menggantungkan hidupnya pada UKM tersebut. Melalui UKM ini masyarakat Indonesia dituntut untuk lebih kreatif. Kreatif dalam menciptakan produk hingga memasarkan produk. Banyak Pelaku UKM yang bisa berinovasi dalam menciptakan produk namun sedikit sekali yang berhasil dalam memasarkan produknya. Inilah yang menjadi persoalan besar bagi PUKM khususnya perempuan-perempuan yang minim modal.

Sekarang sudah memasuki dunia Digital. Tak sedikit orang yang kemudian bertransfomasi menjadi manusia yang syarat dengan teknologi. Hampir tak ada sekat untuk menjelajahi dunia ini. Dalam hitungan detik kita bisa mengirim pesan ke penjuru dunia sekalipun, membeli pakaian, sembako, barang elektronik sampai pesan makanan pun akhirnya sekarang sudah melalui digital. Inilah teknologi, yang mau tidak mau, suka tidak suka harus kita dekati agar tak tergerus dan tertinggal banyak hal.
Peran sosial media sangat besar saat ini dalam kehidupan masyarakat. Mulai dari sebagai tempat curhat tak jelas sampai kepada penjualan online. Inilah kesempatan yang harus digunakan sebaik mungkin bagi Pelaku Usaha sebagai sarana mengiklankan produknya. 
Demikian juga yang dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat PPSW BORNEO yang memiliki binaan Perempuan-perempuan pelaku usaha kecil menengah di beberapa Kabupate dan Kota. Untuk meningkatkan kemampuan binaannya dalam UMKM, PPSW BORNEO menghelat suatu kegiatan Pelatihan Kualitas Produk PUKM Makanan dan Kerajinan pada tanggal 10 dann 11 Mei 2018 di RM.Beringin. Kegiatan selama 2 hari ini diisi dengan kegiatan-kegiatan yang dibutuhka oleh para PUKM tersebut. Salah satunya adalah Materi tentang Strategi Pemasaran Produk PUKM Produk Makanan dan Kerajinan Secara Online di Media Sosial.
REST memiliki kesempatan untuk mengisi pada materi ini dengan melatih ibu-ibu yang hadir pada saat itu utuk membuat Blog yang nantinya Blog tersebut akan digunakan sebagai Toko Virtual mereka. Pelatihan ini tentunya tidak cukup hanya 3 jam saja dan 1 kali pertemuan. Setelah pelatihan ini, ibu-ibu akan medapatkan bimbingan teknis dari REST dalam mengelola BLOG tersebut agar sesuai dengan harapan setiap sabtu jam 14.00 di Balai Kopi Muzzaki.
Ibu-ibu mengikuti dengan sangat antusias. Walaupun harus pelan-pelan namun akhirnya beberapa BLOG jadi. Waktu 3 jam itu hanya cukup untuk megajarkan cara membuat dan memperkenalkan beberapa fitur yang ada didalamnya saja. Untuk proses editing akan dilakukan di bimbingan teknis nanti.
Semangat ya Ibu-ibu ! Belajar sepanjang hayat....

Aspek-Aspek Geostrategi Kepulauan Maya-Karimata

22.35 0 Comments
Aspek-Aspek Geostrategi Kepulauan Maya-Karimata
Kekuatan laut Kepulauan Maya-Karimata memberikan nilai penting kawasan ini dalam geostrategi. Cakupan geostrategi tersebut meliputi aspek politik, ekonomi, budaya dan pertahanan militer yang saling terkait dalam kerangka sistemik. Oleh karena itu, pembahasan mengenai satu aspek akan selalu terkait dengan aspek-aspek lainnya. Sebagai contoh strategi pembangunan ekonomi akan melibatkan kebijakan politik dalam penerapan pemotongan pajak. Kebijakan militer pun dilakukan demi keamanan kawasan, atau menjaga sumber daya yang menjadi komoditi. Interaksi dalam ekonomi baik regional maupun internasional juga berdampak pada komunikasi lintas budaya. Alhasil, pertumbuhan mode budaya baru menjadi sesuatu yang sulit dihindari.
Aspek ekonomi
Kepulauan Maya-Karimata berada dalam kawasan strategis perdagangan dan pelayaran baik lokal, regional, maupun internasional. Pengalaman sejarah dan budaya maritim menunjukkan bahwa penduduk di kepulauan ini sudah mampu memanfaatkan kekuatan laut yang dimilikinya. Kepulauan Maya-Karimata sudah masuk dalam jaringan perdagangan dan pelayaran internasional sejak abad ke-10. Beberapa fragmen keramik dari abad ke-10 banyak ditemukan di Pulau Maya dan Meledang. Hal ini menunjukkan bahwa interaksi dengan Cina sudah mulai terjalin. Pulau Karimata juga telah termaktub dalam catatan Shi Bi (Sejarah Dinasti Yuan) yang menceritakan pelayaran menuju Jawa yang melewati Laut Cina Selatan (Groneveldt, 2009:36).
Catatan selanjutnya diperoleh dari Xingcha Shenglan (1436) yang memberikan gambaran topografi Pulau Karimata. Selain itu, diceritakan pula kebiasaan penduduk setempat yang menggunduli kepala dan mengenakan jaket pendek dari kain bambu dan sarung pendek. Penduduk memakan buah-buahan, membuat garam, dari arak dari tebu. Dalam perdagangan penduduk memerdagangkan tempurung penyu dan antelop. Sedangkan, barang yang dibeli dari pedagang yang datang antara lain kain Jawa, manik-manik, kain katun bermotif bunga, beras, dan sebagainya (Groneveldt, 2009:161–162).
Catatan pada 1512–1515 oleh Tome Pires dalam Suma Oriental, menyebutkan adanya Kerajaan Tanjungpura yang berada di barat daya Pulau Kalimantan. Komoditi perdagangan dari Tanjungpura berupa berlian, budak, madu dan lilin. Sedangkan, barang yang di datangkan dari Malaka antara lain, kain yang bernilai di Jawa, bretangi merah dan hitam, serta kain putih dari Bengal. Pada kurun waktu selanjutnya Tanjungpura disebut dengan Sukadana. Belum diketahui proses atau peristiwa pergantian ini. Namun, lokasi baik Tanjungpura maupun Sukadana berada di pesisir selatan Kalimantan (Cortesao, 2015:308–309).
Menjelang 1600, Kepulauan Maya-Karimata diramaikan dengan perdagangan perkakas dari besi khususnya parang dan kapak. Diuraikan dalam beberapa catatan pelaut Eropa, bahwa orang Melayu memakai keris yang bahannya dari Karimata. Bahkan, Banten yang menjadi pusat perdagangan di bagian barat Jawa juga mengimpor biji besi dari Karimata. Pada 1631, orang Belanda juga membeli hampir sepuluh ribu kampak dan parang dan delapan ribu pada 1637 (Reid, 2011:126). Selama penjajakan arkeologis dilakukan di Pulau Karimata belum didapatkan sisa-sisa peleburan besi. Kendati demikian, keberadaan Pulau Kapak dan Pulau Besi yang berada dalam satu gugusan dengan Pulau Karimata memberi kemungkinan adanya tradisi tersebut pada masa lalu.
Gambaran singkat tentang keadaan topografi, sejarah, demografi, maupun perdagangan daerah kepulauan Karimata ditelaah cukup baik oleh P.J. Veth (1854). Mengenai Pulau Karimata Besar diceritakan pada 1822 terdapat Negeri Palembang yang berpenghuni 10 pondok sederhana. Mata pencaharian penduduk di sini terdiri atas menangkap ikan, pengumpul sarang burung walet, lilin, karet, tripang, menempa logam besi. Selanjutnya, diceritakan tentang kondisi Pulau Serutu yang banyak terdapat koral merah. Orang dari Kubu[5] banyak mengambil koral ini untuk campuran sirih. Sedangkan, orang-orang Cina banyak yang membeli koral ini dipakai untuk obat (Veth, 2012:126–128).
Perdagangan dan pelayaran di kepulauan ini selain didukung oleh adanya komoditas juga keberadaan penduduk dan sumber air tawar yang melimpah. Artefak arkeologi yang ditemukan di Kepulauan Maya-Karimata memiliki keterkaitan dengan adanya sumber daya air tawar di masing-masing pulau. Keberadaan air tawar juga mendukung penghunian pulau-pulau tersebut. Kebutuhan logistik khususnya air tawar dalam pelayaran dapat ditemukan di Pulau Serutu, Karimata, Pelapis, Meledang, Maya, Penumbangan dan beberapa pulau lainnya.
Beberapa pulau di Kepulauan Maya-Karimata memiliki teluk-teluk dengan berbagai karakteristik topografi yang dapat digunakan sebagai pelabuhan alam. Pesisir selatan Pulau Serutu cukup layak untuk digunakan pendaratan perahu-perahu dengan ukuran kecil. Hal ini dikarenakan banyaknya terumbu karang yang mendangkalkan pesisir tersebut. Pulau Karimata memiliki teluk yang cukup dalam di Desa Betok yang memungkinkan dilakukan pendaratan kapal dengan ukuran besar. Muara sungai yang berada di sebelah timur Pulau Maya dapat digunakan sebagai pelabuhan alami.
Kepulauan Maya-Karimata memiliki pelabuhan regional yang berada Sukadana. Selain sebagai pusat pemerintahan, Sukadana juga berfungsi sebagai hub port. Posisi pelabuhan ini cukup strategis karena berada di teluk teduh dan chokepoint lokal berupa selat kecil di Teluk Batang. Pelabuhan ini cukup berkembang pada pertengahan 1800-an dengan memuat karet dan intan yang diperoleh dari beberapa daerah kepulauan dan pedalaman. Berikut catatan Veth (2012:123) tentang kapal dari Pontianak yang berlabuh di Sukadana maupun sebaliknya.
Tahun
Dari Sukadana ke Pontianak
Dari Pontianak ke Sukadana
Kapal
Last
Kapal
Last
1843
9
31
6
21
1844
16
230
21
91
1845
16
120
22
138
1846
34
170
24
87
1847
25
139
18
103
1848
28
73
8
19
1849
12
62
7
9
1850
31
92
15
28

Aspek politik
Artefak keagamaan yang berkarakter budaya abad ke-7–8 M di Pulau Maya memberikan asumsi bahwa daerah tersebut sudah memiliki struktur sosial yang mapan. Artefak pertama berupa arca Visnu yang memiliki kesamaan langgam seni dengan arca di Kepulauan Bangka-Belitung. Secara geobudaya kedua kepulauan ini cukup berdekatan, sehingga dalam perkembangan budaya dapat dipastikan akan sangat saling pengaruh. Kedua, artefak relief stupa Buddha yang ditemukan di lokasi yang sama dengan arca Visnu. Buddhisme di kawasan ini sangat dipengaruhi oleh hegemoni Sriwijaya di Sumatera. Secara politik, hegemoni politik Sriwijaya juga sampai di bagian barat wilayah Jawa. Namun, apakah pengaruh hegemoni tersebut juga meliputi Kepulauan Maya-Karimata yang berada di pintu masuk Laut Jawa? Sejauh ini masih belum ditemukan data-data yang mendukung hal tersebut.
Penyebutan Tanjungpura pertama kali termaktub dalam Negarakrtagama atau kakawin Desa Warnana. Susastra ini ditulis oleh Prapanca pada 1365 M, atau pada era pemeritahan Hayam Wuruk. Dalam teks Negarakrtagama digambarkan perjalanan Hayam Wuruk yang mengunjungi beberapa daerah di bagian timur Kerajaan Majapahit. Prapanca juga memberikan catatan kerajaan-kerajaan vasal Majapahit yang meliputi daerah Sumatera, Kalimantan sampai Maluku. Khusus daerah vasal di Kalimantan, Prapanca menuliskan dalam wirama 14 sebagai berikut.
Kadhangdhangani landha len ri samedhang tirem tan kasah ri sedhu buruneng ri kalka saludhung ri solot pasir, baritwi sawaku muwah ri tabalung tanjung kute, lawan ri malano maka pramuka tang ri tanjung puri.
Terjemahan:
Kadangdangan, Landa, Samedang, dan Tirem tak terlupakan Sedu Bruneng (Brunai) Kalka, Saludung, Solot, dan Pasir, Barito, Sawaku, serta Tabalung, dan Tanjung Kutai, serta Malano yang terkemuka di Tanjungpura (Riana, 2009:98).
Tanjungpura kembali muncul dalam Prasasti Waringin Pitu, atau Sorodokan yang dikeluarkan oleh Wijayaparakramawardhana pada 1474 M. Uraian dalam teks prasasti memberikan gambaran mengenai penetapan daerah Waringin Pitu sebagai perdikan dharma yang bernama Rajakusumapura. Teks prasasti juga menjelaskan kondisi politik dan susunan pemerintahan di Majapahit pada masa Raja Wijayaparakramawardhana. Terkait dengan wilayah Tanjungpura, wilayah ini dipimpin oleh seorang yang bernama Dyah Suragharini (Djafar, 2009:9–11 dan 161).
Pararaton yang disalin pada 1600 M juga menerangkan tentang Tanjungpura. Dalam teks tersebut, Gajah Mada menempatkan Tanjungpura sebagai wilayah yang cukup penting bagi Majapahit. Oleh karena itu, Tanjungpura masuk dalam daftar pedudukan atas Majapahit seperti yang termaktub pada Sumpah Palapa Gajah Mada:
Tan ayun amuktiha phalapa sira Gajah Mada. Lamun uwus kalah nusantara ingsun amuktiyalapa. Lamun alah ring Gurun, ring Seran, Tanjungpura, ring Aru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sundha, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa.
Terjemahan:
Gajah Mada tidak hendak menikmati kesenangan. “Jika sudah kalah nusantara, aku akan menikmati kesenangan. Jika sudah kalah Gurun, Seran, Tanjungpura, Aru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, setelah itu aku akan menikmati kesenangan.” (Kriswanto, 2009:106–107).
Pada bagian akhir dari teks Pararaton, disebutkan bahwa berdasarkan silsilah keluarga penguasa Tanjungpura masih memiliki ikatan dengan Tumapel. Berikut uraian dari teks Pararaton.
Bhre Tumapel aputra jalu nejneng ing Wengker, angambil I Bhre Matahun. Aputra manih Bhre Paguhan. Putra lan rabi anom, Bhre Jagaraga kambil denira Bhra Prameswara, tan aputra.
Manih Bhre Tanjung Pura kalap denira Bhre Paguhan, tan aputra. Manih Bhre Pajang kalap denira Bre Pajang kalap denira Bhre Paguhan kalap dho tan aputra.
Terjemahan:
Bre Tumapel memiliki putra laki-laki, bertakhta di Wengker, dan menikahi Bre Metahun; berputra lagi Bre Peguhan; berputra dengan istri muda, yaitu Bre Jagaraga, yang dinikahi oleh Prameswara, tidak memunyai putra;
Berputra lagi Bre Tanjung Pura, yang dinikahi oleh Bre Paguhan, tidak memunyai putra; berputra lagi Bre Pajang yang dinikahi oleh Bre Paguhan sebagai istri kedua, tidak memiliki putra (Kriswanto, 2009:112–113).
Penyebutan Tanjungpura dalam Negarakrtagama mengindikasikan kerajaan ini sudah berdiri sebelum kakawin tersebut ditulis. Uraian dalam Pararaton juga menujukkan terdapat hubungan kekerabatan antara Tanjungpura dengan Tumapel. Strategi politik Gajah Mada untuk menduduki Tanjungpura kiranya didasari oleh pemahaman sejarah Tanjungpura pada masa sebelumnya. Gajah Mada tidak akan memasukkannya dalam daftar pendudukan apabila tidak memiliki peranan strategis. Kondisi politik-ekonomi pada abad ke-14 M di Asia Tenggara juga mendorong penguasaan atas Tanjungpura. Hal ini disebabkan adanya persaingan dalam penguasaan jalur perdagangan dan pelayaran. Dalam geoekonomi, Tanjungpura menduduki lokasi strategis sebagai chokepoints dalam jalur pelayaran dan perdagangan yang masuk atau keluar dari Laut Jawa. Penguasaan atas kerajaan ini akan berimbas pada kemampuan kontrol jalur barat dari perdagangan dan pelayaran baik yang masuk maupun keluar Laut Jawa (Cf. Ptak, 1998: 281).
Dalam geopolitik kerajaan ini selalu mengalami dinamika yang tidak menentu. Mulai dari Majapahit hingga masa sesudahnya tetap menaruh perhatian kepada keberadaan kerajaan ini. Tome Pires (1512–1515) seorang berkebangsaan Portugis juga memiliki penilaian lebih. Dalam catatannya yang telah disusun ulang oleh Armando Cortesao, Pires telah menyebut Tanjungpura sebanyak 11 kali. Terkait dengan peristiwa politik, Tome Pires mennyebutkan bahwa Kerajaan Demak telah menguasai Tanjungpura.
Beliau sangat berkuasa sehingga mampu menaklukkan seluruh wilayah Palembang, Jambi, Kepulauan Monamby dan banyak pulau lainnya. Penaklukkan ini dilakukan dengan cara melawan Tanjungpura dan selanjutnya, semua wilayah tersebut tunduk padanya (Cortesao, 2015:257).
Menjelang awal abad ke-17 M kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Nusantara mengalami penurunan hegemoni. Bersamaan dengan hal tersebut muncul pula kerajaan-kerajaan baru di daerah pesisir dengan karakter Islam. Reid (2004:9) menyebut masa ini sebagai modern tahap awal yang ditandai dengan kemajuan perniagaan, teknologi baru militer, pertumbuhan negara baru yang terpusat, dan penyebaran ortodoksi agama-agama kitabiah (scriptual) yang disahkan secara eksternal. Berdasarkan hal tersebut tampaknya wilayah pesisir Kalimantan juga mengalami perkembangan yang serupa. Kerajaan-kerajaan di pesisir bermunculan dengan karakter budaya Islam, seperti Banjar, Kotawaringin, Sukadana, Pontianak, Mempawah dan Sambas.
Pada periode ini Tanjungpura sudah tidak disebut dalam catatan sejarah. Dalam catatan-catatan berikutnya penyebutan wilayah Tanjungpura digantikan dengan Sukadana. Belum dapat diketahui secara pasti apakah Sukadana sama dengan Tanjungpura, atau satu kesatuan politik yang berbeda. Kendati demikian, kedua kekuatan politik tersebut menempati ruang yang sama yaitu di bagian barat daya pesisir Kalimantan. Berdasarkan hal tersebut terdapat kemungkinan-kemungkinan yang terjadi pada waktu itu selain perkembangan sosial budaya global yang tengah terjadi. Pertama, Sukadana merupakan kota sekaligus pelabuhan utama dari Tanjungpura di pesisir barat daya Kalimantan yang pada periode selanjutnya menjadi negara kota. Kedua, ketidakadaan keturunan dari penguasa terakhir Tanjungpura—seperti diceritakan dalam Pararaton—menjadikan kerajaan ini berjalan tanpa kepemimpinan yang sebagaimana mestinya.
Sukadana yang menempati ruang Selat Karimata dengan daerah Kepulauan Maya-Karimata masih menjadi perhatian bagi kerajaan-kerajaan lainnya. Pada 1622 Mataram melakukan penyerangan terhadap wilayah ini dengan motivasi penguasaan sumber komoditi. Sukadana memiliki sumber biji besi yang melimpah di Pulau Karimata. Komoditi ini menjadi primadona dalam perdagangan baik lokal maupun regional. Selain itu, pelabuhan Sukadana merupakan pelabuhan pengumpul berlian yang didapatkan dari daerah pedalaman (Reid, 2011:126; Schrieke, 1960:29–31).
Pada perkembangan barikutnya, Sukadana mengalami pasang surut baik dalam perdagangan maupun politik. Setelah terbebas dari pengaruh Mataram, Sukadana menjadi vasal dari Kesultanan Banjarmasin (Cf. Schrieke, 1960:31). Selanjutnya, pada 1786 Sukadana mengalami keterpurukan akibat serangan dari Sultan Pontianak yang dibantu dengan beberapa kapal VOC. Serangan tersebut telah menghancurkan total Sukadana dan masyarakat yang mendiaminya disebar ke beberapa daerah. Kekosongan Sukadana menjadi peluang bajak laut (lanun) untuk menghuni wilayah ini. Namun, tidak berselang lama Belanda kembali menyerang, dan pada 1822 tempat ini sama sekali ditinggalkan (Veth, 2012:122).
Pada saat menjelang pecah Perang Dunia II, Jepang telah merencanakan tiga fase perang. fase 1: menyerang dan merebut Nanyo yang kaya yaitu daerah selatan yang kaya yaitu Nusantara/koloni Hindia Belanda, Filipina, Malaya dan Burma serta daerah Pasifik. Fase 2: setelah diserang dan direbut diperkuat dan mengisolasi diri dengan mengandalkan posisi benteng pulau-pulau, dan fase ke-3: kekalahan musuh yang diakhiri dengan penjanjian perdamaian. Belanda tentu tahu tentang rencana-rencana ini, dan setelah penyerangan Pearl Harbor pada 8 Desember 1941, pada hari itu juga Belanda mengumumkan menyatakan perang terhadap Jepang. (Onghokham, 2014:222–223).
Aspek Budaya
Selat Karimata dari sisi budaya berperan sangat besar sebagai sarana yang menghubungkan masyarakat yang ada di kawasan ini dan wilayah sekitarnya. Bicara perkembangan kebudayaan bercorak Hindu-Buddha di kawasan Selat Karimata, sudah barang tentu tidak hanya menampilkan data material dari Kepulauan Karimata tersebut. Namun lebih luas lagi harus mengaitkan dengan wilayah lainnya di sekitar selat tersebut, baik Kalimantan, Sumatera, dan Jawa. Khusus Kalimantan, meliputi daerah sepanjang pesisir Barat Kalimantan yang membentang mulai dari Tanjung Datok-Sambas hingga daerah Kendawangan-Ketapang yang berbatasan dengan Kotawaringin. Sumatera sendiri meliputi daerah pesisir Timur Sumatera dan beberapa gugusan kepulauan yang ada, seperti Kepulauan Bangka-Belitung. Sedangkan Jawa yang bersentuhan langsung dengan selat ini yaitu daerah pesisir utara bagian barat. Jejak rekam panjang yang menandakan hubungan tersebut terefleksikan dari tinggalan material keagaamaan dari masa Hindu-Buddha.
Persebaran Budhisme
Indikasi kuat berkembangnya Buddha ditunjukkan dengan temuan relief stupa dan inskripsi yang memuat mantra Buddha. Temuan pertama yaitu temuan relief stupa yang mengandung inskripsi mantra Buddha yang ditemukan di Situs Batu Pahat, tepi Sungai Tekarek, Desa Pahit, Kecamatan Nanga Mahap. Dahulu wilayah ini masuk Kabupaten Sanggau; pada masa sekarang wilayah tersebut menjadi bagian Kabupaten Sekadau, Provinsi Kalimantan Barat. Secara geografis lokasi situs tersebut terhubungkan dengan Selat Karimata melalui Sungai Kapuas.
Temuan relief stupa dan inskripsi tersebut pernah di bahas oleh Chhabra dan ditinjau ulang oleh M.M. Sukarto K. Atmodjo dalam tulisannya yang berjudul Beberapa Temuan Prasasti Baru di Indonesia (1994). Dari situs tersebut diketahui bahwa pahatan yang ada pada sebongkah batu besar di tepi Desa Pahit tersebut berisi 7 relief stupa lengkap dengan payungnya yang disebut sebagai chattra, dan satu pahatan sebagai pattra. Dari inskripsi tersebut diketahui bahwa yang dipahatkan di batu tersebut adalah ye-te mantra agama Buddha. Selain berisi japa mantra, prasasti tersebut memuat nama kerajaan yang ada di Barat Daya Kalimantan yang diperkirakan sebagai Wijayapura, seperti tafsir Wolters. Pada sepenggal bagian prasasti tersebut juga memuat angka tahun Caka 578 (Atmodjo, 1994:1–2). Cukup menarik bahwa penanggalan tersebut adalah penanggalan tertua yang ditemukan di Kalimantan hingga saat ini.
Temuan relief stupa juga ditemukan di Situs Gunung Totek, Pulau Maya. Temuan tersebut seperti di singgung di atas, berjumlah 2 relief stupa (Tim Penelitian, 2009 dan 2010). Relief stupa tersebut tidak disertai inskripsi dan angka tahun seperti halnya di Situs Batu Pahit
Temuan inskripsi bercorak Budhisme beserta percandian juga ditemukan di Situs Batujaya, Pantai Utara Jawa Barat. Berdasarkan perbandingan inskripsi yang ada beserta temuan, lainnya menunjukkan kesamaan dengan di Lembah Bujang, Kedah, Malaysia. Dan dapat dipastikan bahwa corak keagamaan yang berkembang adalah agama Buddha Mahayana (Djafar, 2010:118–121). Berbagai temuan artefak Buddha mulai dari Semenanjung Malaysia, Pulau Maya, daratan Kalimantan Bagian Barat, Pantai Utara Jawa Barat, dan sudah barang tentu pesisir Timur Sumatera, menunjukkan begitu kuatnya jaringan keagamaan Buddha pada masa itu yang terhubungkan oleh adanya Selat Karimata.
Persebaran Vaisnawa
Perkembangan agama Hindu, seperti halnya agama Buddha, juga berlangsung di sekitar Selat Karimata ini. Berkembangnya agama Hindu sudah barang tentu didukung oleh adanya kekuasaan dan penduduk yang ada pada saat itu. Yang menarik di sekitar Selat Karimata dan wilayah sekitarnya, yaitu adanya temuan Arca Wisnu. Penemuan arca tersebut tersebar mulai dari Situs Gunung Totek-Pulau Maya (Tim Penelitian, 2009), temuan arca Wisnu di Situs Kota Kapur-Pulau Bangka (Marhaeni, 1997:17–29), dan Arca Wisnu di Cibuaya-Pantai Utara Jawa Barat, yang dikenal sebagai Arca Cibuaya I, II, dan III (Djafar, 2010:1).
Berdasarkan langgam, temuan penyerta, dan karakteristik tempat temuan Arca Wisnu tersebut, menunjukkan dahulunya di kawasan ini ada pemujaan Dewa Wisnu (Herwanto, 2010), atau yang dikenal dengan aliran Vaisnawa. Perkembangan aliran Vaisnawa ini hampir bersamaan dengan perkembangan Buddha Mahayana, yang ada pada masa Tarumanegara dan awal Sriwijaya.
Tradisi melaut era sesudahnya
Tradisi melaut, atau hal-hal yang berkenaan dengan kemaritiman, masih dilakukan oleh masyarakat di sekitar Selat Karimata. Tradisi tersebut antara lain berkenaan dengan tata cara bermukim di pantai, pembuatan kapal dan kemampuan dalam hal menguasai navigasi laut. Masyarakat hingga kini masih berprofesi sebagai nelayan, dengan berbargai tangkapan hasil laut, serta meramaikan perdagangan antar pulau di Selat Karimata.
Berdasarkan pengamatan aktivitas kemaritiman di kepulauan Karimata tersebut digerakkan oleh masyarakat Bugis, Melayu, Madura, Banjar, dan Jawa. Aktivitas perdagangan tradisional dan penangkapan ikan laut di Selat ini bergantung Musim. Pergantian musim berpengaruh terhadap bergeseran penduduk dan aktivitas bermukim di Selat ini. Pergerakan dinamis masyarakat di Selat Karimata ini membawa
Aspek Pertahanan Militer
Kepulauan Maya-Karimata memiliki kekuatan laut yang mumpuni sebagai benteng alam. Kepadatan dan keadaan alami dari pulau-pulau di kepulauan ini memberikan aspek keamanan bagi penghuni pulau. Jumlah pulau yang banyak dan mengelompok menjadi beberapa gugusan membuat selat-selat pemisah antarpulau seperti labirin. Kondisi ini akhirnya memungkinkan daerah kepulauan ini menjadi daerah persembunyian. Didukung pula banyaknya teluk-teluk tertutup oleh bakau dan akses menuju pantai yang tertutup lumpur atau terumbu karang yang dangkal membuat kapal besar tidak bisa mendarat. Selain itu, karakter umum yang dimiliki penduduk kepulauan ini memberi dukungan terhadap sistem pertahanan alami.
Serangan Mongolia atas Jawa pada akhir abad ke-13 yang dicatat dalam Sejarah Dinasti Yuan telah menempatkan daerah kepulauan di Selat Karimata sebagai tempat singgah dalam perjalanan. Catatan Shi Bi, Sejarah Dinasti Yuan Buku 162 yang menyatakan:
Angin bertiup sangat kencang dan lautan begitu bergelombang sehingga kapal terombang-ambing. Para prajurit tidak bisa makan selama berhari-hari. Mereka melewati Samudra Tujuh Pulau (Kepulauan Paracels) dan Long Reef (Macclesfield Bank). Mereka melewati tanah Jiaozhi dan Campa. Pada bulan pertama tahun selanjutnya, mereka tiba di kepulauan Dong Timur (Natuna?), Kepulauan Dong Barat (Anamba?) memasuki Samudra Hindia (?), dan berturut-turut tiba di Pulau Zaitun (?), Karimata, dan Gao-lan (Belitung). Di sana mereka berhenti dan menebang pohon untuk membuat perahu kecil yang akan digunakan memasuki sungai (Groeneveldt, 2009:36)
Berdasarkan catatan tersebut, Groeneveldt (2009:45–46) memberikan analisis bahwa armada Mongol tidak mengikuti jalur biasa yang menyusuri Malaka dan Sumatera. Armada ini menuju Laut Jawa dengan mengambil jalan pintas. Oleh karena itu, cukup sulit untuk mengidentifikasi nama-nama pulau yang telah dilaluinya. Namun, dapat dipastikan bahwa armada ini pasti melewati Selat Karimata dan mencapai Pulau Ge-lan atau Gaolan untuk memerbaiki kapal yang rusak dan membuat perahu kecil.
Uraian Sejarah Dinasti Yuan berikut hasil analisis tersebut di atas tampaknya menguatkan keberadaan prasasti Pasir Cina dan prasasti Pasir Kapal di Pulau Serutu. Pada prasasti Pasir Kapal terdapat frasa Da Yuan Guo (Da dalam google translator diartikan ‘besar’ sedangkan Guo adalah ‘negara’). Istilah Yuan sebagai sinonim dari ‘mahamulia’, ‘asli’, ‘pertama’, dan ‘agung’ muncul pertama kali ketika Kubilai menyatakan dirinya sebagai seorang Khan pengganti Monkhe dari Mongolia. Istilah ini secara resmi digunakan sebagai nama dinasti yang dipimpin oleh Kubilai Khan pada Desember 1271 (Man, 2010:131). Dinasti ini berkiprah dalam kronik sejarah Cina antara 1271–1368 M. Berdasarkan hal tersebut maka Da Yuan Guo dapat diartikan sebagai ‘Dinasti Yuan yang besar’.
Dalam uraian selanjutnya—pada teks yang terbaca—disebutkan pula adanya utusan atau caraka, 500 kapal kecil dan penanggalan tahun ke-30 bulan Januari dan tanggal 18. Teks prasasti tersebut kiranya memerkuat dugaan keberadaan dari armada Mongol yang telah berlabuh di Pulau Serutu. Oleh karena itu, perlu ditinjau lagi toponimi Gao-lan yang diidentifikasi sebagai Pulau Belitung. Disebutkan dalam berita Cina tersebut bahwa di pulau ini mereka menebang kayu untuk membuat kapal kecil. Artinya armada tersebut memerlukan waktu mulai dari menebang kayu sampai membuat kapal bahkan mengisi ulang logistiknya. Dari hal tersebut muncul permasalahan bagaimana menyembunyikan armada ratusan kapal dengan ribuan prajurit tanpa terdeteksi keberadaannya oleh militer Jawa?
Posisi Belitung berada di jalur yang ramai, atau berada pada jalur perniagaan, dan cukup dekat dengan Sumatera. Hal ini akan berdampak terhadap diketahuinya secara langsung keberadaan armada ini oleh militer Jawa mengingat di Sumatera juga telah berlangsung ekspedisi Pamalayu. Kiranya pendaratan tersebut lebih memungkinkan dilakukan di Kepulauan Karimata. Terlebih lagi daerah ini memunyai topografi dan sumber daya alam yang mencukupi sebagai benteng alam. Gugusan pulau-pulau dengan teluk-teluk yang dipenuhi bakau cukup digunakan untuk menyembunyikan armada ini agar tidak terdeteksi oleh musuh. Daerah pegunungan di Pulau Karimata juga mampu mendukung kebutuhan logistik selama ekspedisi.
Pulau Serutu yang berada dalam gugusan Kepulauan Karimata memiliki sumber daya air tawar untuk keperluan logistik. Dalam prasasti Pasir Cina telah dipahatkan dalam tebing batu frasa “Quan Shi” yang berarti ‘air mancur’ dan “Qing” berarti ‘bersih’. Sampai hari ini sumber air tawar tersebut masih digunakan oleh penduduk yang bermukim untuk mencukupi kebutuhan akan air bersih. Sumber daya kayu untuk pembuatan kapal juga disediakan di daerah kepulauan. Salah satu kayu yang sering digunakan oleh penduduk saat ini untuk membuat perahu adalah kayu resak (Vatica, spp).
Pergulatan politik Kepulauan Maya-Karimata pada periode berikutnya memberikan gambaran nilai penting dari geografis wilayah ini. Dalam geoekonomi daerah ini berfungsi sebagai kontrol jalur pelayaran dan perdagangan. Namun, dalam geostrategi militer Kepulauan Maya-Karimata menjadi “pintu benteng” pertahanan untuk memasuki zona Laut Jawa. Pertimbangan tersebut kemungkinan dilakukan baik oleh Gajah Mada maupun Patih Unus untuk menguasai kawasan ini.
Kemerosotan perekonomian dan perpolitikan daerah Kepulauan Maya-Karimata akibat kapitalisme dan imperialime Belanda menjadikan daerah ini tidak lagi diperhatikan oleh Gubernemen Belanda. Oleh karena itu, para bajak laut yang beroperasi di Selat Karimata mengambil alih kepulauan ini sebagai benteng persembunyiannya. Bahkan, Kepulauan Karimata mendapat julukan kepulauan rendezvous (pertemuan kembali) karena berfungsi sebagai tempat berkumpul bajak laut sebelum kekuatan mereka diperairan dipatahkan (Veth, 2012:126). Berikut ini gambaran umum mengenai bajak laut di Pulau Karimata.
Untuk perjalanan perampokan mereka hanya memiliki dua kapal, setiap kapal diisi dengan 2 meriam, dan dengan ini mereka bersama dengan orang laut dari Belitung setiap tahun waktu musim timur, melakukan perjalanan perampokan ke pantai utara Jawa. Kepala mereka, Batin Galang yang dikatakan dilindungi oleh raja-raja Matan dan Simpang…..(Veth, 2012:320).
Di masa kolonialisme Belanda, sebelum penyerangan Pearl Harbor terjadi, sebenarnya Belanda berharap pada 2 negara besar dalam menghadapi ovensif Jepang di kawasan Asia Tenggara, yaitu Inggris dan Amerika Serikat. Bak mendapat ‘pepesan kosong’ sehingga Hindia Belanda seakan berjuang sendiri. Kesepakatan awal, memang kedua negara (Inggris dan Amerika) sepakat bahwa mengenai Asia Tenggara dan Pasifik terhadap ofensif Jepang hanya defensif saja, dan tenaganya akan disimpan untuk menghadapi di Eropa. Belanda akhirnya tidak berharap banyak terhadap peran Inggris dan Amerika. Selanjutnya harapan bertumpu, khususnya pada angkatan lautnya untuk memertahankan Jawa dan Kalimantan yang kaya minyak. Teknologi dan peralatan tempur dan kapal-kapal Belaada yang usang memermudah pihak Jepang menguasainya. Suatu hal yang perlu diingat bahwa, saat itu Belanda menyadari terkait keadaan geografis dan situasi perang, maka tugas-tugas yang berat terletak pada angkatan laut dan angkatan udara. Belanda melengkapi dengan 3 kapal perusak, 6 kapal buru terpedo, 11 kapal selam, disamping membangun lapangan terbang baru dan menyediakan pesawat-pesawat tempur ( Onghokham, 2014:264). Salah satu lapangan terbang yang dibangun adalah lapangan terbang di Singkawang, Kalimantan bagian barat untuk mengawasi Selat Karimata (Onghokham, 2014:266)


Sumber : https://kebudayaan.kemdikbud.go.id

Selasa, 24 April 2018

KISAH JUANG PEREMPUAN KITA ( MY FIRST BOOK )

21.26 0 Comments
KISAH JUANG PEREMPUAN KITA ( MY FIRST BOOK ) Habis Kopdar Terbitlah Buku begitulah impian dari kami semua yang tergabung dalam kelompok menulis asuhan dari coach Beni Sulastiyo.

Beberapa bulan, tahapan untuk menulis dan mengerjakan project bareng ini telah dilewati. Bunda Elyza Areif yang mengomandoin project bersama ini begitu sabar membimbing,mengarahkan, memfasilitasi segala prosesnya.
Kak Vivi Al-Hinduan II dan kak lim Merry yang begitu cermat dan detail dalam mengedit naskah, kak Aurellia Sanada yang juga ikut mengedit quote2 yang masuk, serta tentunya coach kami bung beni sulastiyo yang telah banyak menyediakan waktunya dan desain cover bukunya yang keren.
Inilah persembahan untuk Para Perempuan Yang begitu menginspirasi bagi para penulis " Kisah juang Perempuan Kita ".
My first Book tentunya di tahun ini dan mudah2an awal semangat untuk meneruskan perjuangan Kartini lewat pena.
Menulislah untukmu dan untuk generasi penerus agar perempuan dapat meninggalkan sejarah tanpa rekayasa.
Noted : model adalah para kontributor di Buku Kisah Juang Perempuan Kita tak ada saya disitu,hehehe....


Tunju