Aspek-Aspek Geostrategi Kepulauan
Maya-Karimata
Kekuatan laut Kepulauan Maya-Karimata memberikan nilai
penting kawasan ini dalam geostrategi. Cakupan geostrategi tersebut meliputi
aspek politik, ekonomi, budaya dan pertahanan militer yang saling terkait dalam
kerangka sistemik. Oleh karena itu, pembahasan mengenai satu aspek akan selalu
terkait dengan aspek-aspek lainnya. Sebagai contoh strategi pembangunan ekonomi
akan melibatkan kebijakan politik dalam penerapan pemotongan pajak. Kebijakan
militer pun dilakukan demi keamanan kawasan, atau menjaga sumber daya yang
menjadi komoditi. Interaksi dalam ekonomi baik regional maupun internasional
juga berdampak pada komunikasi lintas budaya. Alhasil, pertumbuhan mode budaya
baru menjadi sesuatu yang sulit dihindari.
Aspek ekonomi
Kepulauan Maya-Karimata berada dalam kawasan strategis
perdagangan dan pelayaran baik lokal, regional, maupun internasional.
Pengalaman sejarah dan budaya maritim menunjukkan bahwa penduduk di kepulauan
ini sudah mampu memanfaatkan kekuatan laut yang dimilikinya. Kepulauan
Maya-Karimata sudah masuk dalam jaringan perdagangan dan pelayaran internasional
sejak abad ke-10. Beberapa fragmen keramik dari abad ke-10 banyak ditemukan di
Pulau Maya dan Meledang. Hal ini menunjukkan bahwa interaksi dengan Cina sudah
mulai terjalin. Pulau Karimata juga telah termaktub dalam catatan Shi Bi
(Sejarah Dinasti Yuan) yang menceritakan pelayaran menuju Jawa yang melewati
Laut Cina Selatan (Groneveldt, 2009:36).
Catatan selanjutnya diperoleh dari Xingcha Shenglan
(1436) yang memberikan gambaran topografi Pulau Karimata. Selain itu,
diceritakan pula kebiasaan penduduk setempat yang menggunduli kepala dan
mengenakan jaket pendek dari kain bambu dan sarung pendek. Penduduk memakan
buah-buahan, membuat garam, dari arak dari tebu. Dalam perdagangan penduduk
memerdagangkan tempurung penyu dan antelop. Sedangkan, barang yang dibeli dari
pedagang yang datang antara lain kain Jawa, manik-manik, kain katun bermotif
bunga, beras, dan sebagainya (Groneveldt, 2009:161–162).
Catatan pada 1512–1515 oleh Tome Pires dalam Suma
Oriental, menyebutkan adanya Kerajaan Tanjungpura yang berada di barat daya
Pulau Kalimantan. Komoditi perdagangan dari Tanjungpura berupa berlian, budak,
madu dan lilin. Sedangkan, barang yang di datangkan dari Malaka antara lain,
kain yang bernilai di Jawa, bretangi merah
dan hitam, serta kain putih dari Bengal. Pada kurun waktu selanjutnya
Tanjungpura disebut dengan Sukadana. Belum diketahui proses atau peristiwa
pergantian ini. Namun, lokasi baik Tanjungpura maupun Sukadana berada di
pesisir selatan Kalimantan (Cortesao, 2015:308–309).
Menjelang 1600, Kepulauan Maya-Karimata diramaikan
dengan perdagangan perkakas dari besi khususnya parang dan kapak. Diuraikan
dalam beberapa catatan pelaut Eropa, bahwa orang Melayu memakai keris yang
bahannya dari Karimata. Bahkan, Banten yang menjadi pusat perdagangan di bagian
barat Jawa juga mengimpor biji besi dari Karimata. Pada 1631, orang Belanda
juga membeli hampir sepuluh ribu kampak dan parang dan delapan ribu pada 1637
(Reid, 2011:126). Selama penjajakan arkeologis dilakukan di Pulau Karimata
belum didapatkan sisa-sisa peleburan besi. Kendati demikian, keberadaan Pulau
Kapak dan Pulau Besi yang berada dalam satu gugusan dengan Pulau Karimata
memberi kemungkinan adanya tradisi tersebut pada masa lalu.
Gambaran singkat tentang keadaan topografi, sejarah,
demografi, maupun perdagangan daerah kepulauan Karimata ditelaah cukup baik
oleh P.J. Veth (1854). Mengenai Pulau Karimata Besar diceritakan pada 1822
terdapat Negeri Palembang yang berpenghuni 10 pondok sederhana. Mata
pencaharian penduduk di sini terdiri atas menangkap ikan, pengumpul sarang
burung walet, lilin, karet, tripang, menempa logam besi. Selanjutnya,
diceritakan tentang kondisi Pulau Serutu yang banyak terdapat koral merah.
Orang dari Kubu[5] banyak
mengambil koral ini untuk campuran sirih. Sedangkan, orang-orang Cina banyak
yang membeli koral ini dipakai untuk obat (Veth, 2012:126–128).
Perdagangan dan pelayaran di kepulauan ini selain
didukung oleh adanya komoditas juga keberadaan penduduk dan sumber air tawar
yang melimpah. Artefak arkeologi yang ditemukan di Kepulauan Maya-Karimata
memiliki keterkaitan dengan adanya sumber daya air tawar di masing-masing
pulau. Keberadaan air tawar juga mendukung penghunian pulau-pulau tersebut.
Kebutuhan logistik khususnya air tawar dalam pelayaran dapat ditemukan di Pulau
Serutu, Karimata, Pelapis, Meledang, Maya, Penumbangan dan beberapa pulau
lainnya.
Beberapa pulau di Kepulauan Maya-Karimata memiliki
teluk-teluk dengan berbagai karakteristik topografi yang dapat digunakan
sebagai pelabuhan alam. Pesisir selatan Pulau Serutu cukup layak untuk
digunakan pendaratan perahu-perahu dengan ukuran kecil. Hal ini dikarenakan
banyaknya terumbu karang yang mendangkalkan pesisir tersebut. Pulau Karimata
memiliki teluk yang cukup dalam di Desa Betok yang memungkinkan dilakukan
pendaratan kapal dengan ukuran besar. Muara sungai yang berada di sebelah timur
Pulau Maya dapat digunakan sebagai pelabuhan alami.
Kepulauan Maya-Karimata memiliki pelabuhan regional
yang berada Sukadana. Selain sebagai pusat pemerintahan, Sukadana juga
berfungsi sebagai hub
port. Posisi pelabuhan ini
cukup strategis karena berada di teluk teduh dan chokepoint lokal berupa
selat kecil di Teluk Batang. Pelabuhan ini cukup berkembang pada pertengahan
1800-an dengan memuat karet dan intan yang diperoleh dari beberapa daerah
kepulauan dan pedalaman. Berikut catatan Veth (2012:123) tentang kapal dari
Pontianak yang berlabuh di Sukadana maupun sebaliknya.
Tahun
|
Dari Sukadana ke Pontianak
|
Dari Pontianak ke Sukadana
|
||
Kapal
|
Last
|
Kapal
|
Last
|
|
1843
|
9
|
31
|
6
|
21
|
1844
|
16
|
230
|
21
|
91
|
1845
|
16
|
120
|
22
|
138
|
1846
|
34
|
170
|
24
|
87
|
1847
|
25
|
139
|
18
|
103
|
1848
|
28
|
73
|
8
|
19
|
1849
|
12
|
62
|
7
|
9
|
1850
|
31
|
92
|
15
|
28
|
Aspek politik
Artefak keagamaan yang berkarakter budaya abad ke-7–8
M di Pulau Maya memberikan asumsi bahwa daerah tersebut sudah memiliki struktur
sosial yang mapan. Artefak pertama berupa arca Visnu yang memiliki kesamaan
langgam seni dengan arca di Kepulauan Bangka-Belitung. Secara geobudaya kedua
kepulauan ini cukup berdekatan, sehingga dalam perkembangan budaya dapat
dipastikan akan sangat saling pengaruh. Kedua, artefak relief stupa Buddha yang
ditemukan di lokasi yang sama dengan arca Visnu. Buddhisme di kawasan ini
sangat dipengaruhi oleh hegemoni Sriwijaya di Sumatera. Secara politik,
hegemoni politik Sriwijaya juga sampai di bagian barat wilayah Jawa. Namun,
apakah pengaruh hegemoni tersebut juga meliputi Kepulauan Maya-Karimata yang
berada di pintu masuk Laut Jawa? Sejauh ini masih belum ditemukan data-data
yang mendukung hal tersebut.
Penyebutan Tanjungpura pertama kali termaktub dalam
Negarakrtagama atau kakawin Desa Warnana. Susastra ini ditulis oleh Prapanca
pada 1365 M, atau pada era pemeritahan Hayam Wuruk. Dalam teks Negarakrtagama
digambarkan perjalanan Hayam Wuruk yang mengunjungi beberapa daerah di bagian
timur Kerajaan Majapahit. Prapanca juga memberikan catatan kerajaan-kerajaan
vasal Majapahit yang meliputi daerah Sumatera, Kalimantan sampai Maluku. Khusus
daerah vasal di Kalimantan, Prapanca menuliskan dalam wirama 14 sebagai
berikut.
Kadhangdhangani landha len ri samedhang
tirem tan kasah ri sedhu buruneng ri kalka saludhung ri solot pasir, baritwi
sawaku muwah ri tabalung tanjung kute, lawan ri malano maka pramuka tang ri
tanjung puri.
Terjemahan:
Kadangdangan, Landa, Samedang, dan Tirem
tak terlupakan Sedu Bruneng (Brunai) Kalka, Saludung, Solot, dan Pasir, Barito,
Sawaku, serta Tabalung, dan Tanjung Kutai, serta Malano yang terkemuka di
Tanjungpura (Riana, 2009:98).
Tanjungpura kembali muncul dalam Prasasti Waringin
Pitu, atau Sorodokan yang dikeluarkan oleh Wijayaparakramawardhana pada 1474 M.
Uraian dalam teks prasasti memberikan gambaran mengenai penetapan daerah
Waringin Pitu sebagai perdikan dharma yang bernama Rajakusumapura. Teks
prasasti juga menjelaskan kondisi politik dan susunan pemerintahan di Majapahit
pada masa Raja Wijayaparakramawardhana. Terkait dengan wilayah Tanjungpura, wilayah
ini dipimpin oleh seorang yang bernama Dyah Suragharini (Djafar, 2009:9–11 dan
161).
Pararaton yang disalin pada 1600 M juga menerangkan
tentang Tanjungpura. Dalam teks tersebut, Gajah Mada menempatkan Tanjungpura
sebagai wilayah yang cukup penting bagi Majapahit. Oleh karena itu, Tanjungpura
masuk dalam daftar pedudukan atas Majapahit seperti yang termaktub pada Sumpah
Palapa Gajah Mada:
Tan ayun amuktiha phalapa sira Gajah
Mada. Lamun uwus kalah nusantara ingsun amuktiyalapa. Lamun alah ring Gurun, ring
Seran, Tanjungpura, ring Aru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sundha, Palembang,
Tumasik, samana isun amukti palapa.
Terjemahan:
Gajah Mada tidak hendak menikmati
kesenangan. “Jika sudah kalah nusantara, aku akan menikmati kesenangan. Jika
sudah kalah Gurun, Seran, Tanjungpura, Aru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda,
Palembang, Tumasik, setelah itu aku akan menikmati kesenangan.” (Kriswanto,
2009:106–107).
Pada bagian akhir dari teks Pararaton, disebutkan
bahwa berdasarkan silsilah keluarga penguasa Tanjungpura masih memiliki ikatan
dengan Tumapel. Berikut uraian dari teks Pararaton.
Bhre Tumapel aputra jalu nejneng ing
Wengker, angambil I Bhre Matahun. Aputra manih Bhre Paguhan. Putra lan rabi
anom, Bhre Jagaraga kambil denira Bhra Prameswara, tan aputra.
Manih Bhre Tanjung Pura kalap denira
Bhre Paguhan, tan aputra. Manih Bhre Pajang kalap denira Bre Pajang kalap
denira Bhre Paguhan kalap dho tan aputra.
Terjemahan:
Bre Tumapel memiliki putra laki-laki,
bertakhta di Wengker, dan menikahi Bre Metahun; berputra lagi Bre Peguhan;
berputra dengan istri muda, yaitu Bre Jagaraga, yang dinikahi oleh Prameswara,
tidak memunyai putra;
Berputra lagi Bre Tanjung Pura, yang
dinikahi oleh Bre Paguhan, tidak memunyai putra; berputra lagi Bre Pajang yang
dinikahi oleh Bre Paguhan sebagai istri kedua, tidak memiliki putra (Kriswanto,
2009:112–113).
Penyebutan Tanjungpura dalam Negarakrtagama
mengindikasikan kerajaan ini sudah berdiri sebelum kakawin tersebut ditulis.
Uraian dalam Pararaton juga menujukkan terdapat hubungan kekerabatan antara
Tanjungpura dengan Tumapel. Strategi politik Gajah Mada untuk menduduki
Tanjungpura kiranya didasari oleh pemahaman sejarah Tanjungpura pada masa
sebelumnya. Gajah Mada tidak akan memasukkannya dalam daftar pendudukan apabila
tidak memiliki peranan strategis. Kondisi politik-ekonomi pada abad ke-14 M di
Asia Tenggara juga mendorong penguasaan atas Tanjungpura. Hal ini disebabkan
adanya persaingan dalam penguasaan jalur perdagangan dan pelayaran. Dalam
geoekonomi, Tanjungpura menduduki lokasi strategis sebagai chokepoints dalam jalur pelayaran dan perdagangan yang masuk
atau keluar dari Laut Jawa. Penguasaan atas kerajaan ini akan berimbas pada
kemampuan kontrol jalur barat dari perdagangan dan pelayaran baik yang masuk
maupun keluar Laut Jawa (Cf. Ptak, 1998: 281).
Dalam geopolitik kerajaan ini selalu mengalami
dinamika yang tidak menentu. Mulai dari Majapahit hingga masa sesudahnya tetap
menaruh perhatian kepada keberadaan kerajaan ini. Tome Pires (1512–1515)
seorang berkebangsaan Portugis juga memiliki penilaian lebih. Dalam catatannya
yang telah disusun ulang oleh Armando Cortesao, Pires telah menyebut
Tanjungpura sebanyak 11 kali. Terkait dengan peristiwa politik, Tome Pires
mennyebutkan bahwa Kerajaan Demak telah menguasai Tanjungpura.
Beliau sangat berkuasa sehingga mampu menaklukkan
seluruh wilayah Palembang, Jambi, Kepulauan Monamby dan banyak pulau lainnya.
Penaklukkan ini dilakukan dengan cara melawan Tanjungpura dan selanjutnya,
semua wilayah tersebut tunduk padanya (Cortesao, 2015:257).
Menjelang awal abad ke-17 M kerajaan-kerajaan
Hindu-Buddha di Nusantara mengalami penurunan hegemoni. Bersamaan dengan hal
tersebut muncul pula kerajaan-kerajaan baru di daerah pesisir dengan karakter
Islam. Reid (2004:9) menyebut masa ini sebagai modern tahap awal yang ditandai
dengan kemajuan perniagaan, teknologi baru militer, pertumbuhan negara baru
yang terpusat, dan penyebaran ortodoksi agama-agama kitabiah (scriptual) yang disahkan secara eksternal. Berdasarkan hal
tersebut tampaknya wilayah pesisir Kalimantan juga mengalami perkembangan yang
serupa. Kerajaan-kerajaan di pesisir bermunculan dengan karakter budaya Islam,
seperti Banjar, Kotawaringin, Sukadana, Pontianak, Mempawah dan Sambas.
Pada periode ini Tanjungpura sudah tidak disebut dalam
catatan sejarah. Dalam catatan-catatan berikutnya penyebutan wilayah
Tanjungpura digantikan dengan Sukadana. Belum dapat diketahui secara pasti
apakah Sukadana sama dengan Tanjungpura, atau satu kesatuan politik yang
berbeda. Kendati demikian, kedua kekuatan politik tersebut menempati ruang yang
sama yaitu di bagian barat daya pesisir Kalimantan. Berdasarkan hal tersebut
terdapat kemungkinan-kemungkinan yang terjadi pada waktu itu selain
perkembangan sosial budaya global yang tengah terjadi. Pertama, Sukadana merupakan
kota sekaligus pelabuhan utama dari Tanjungpura di pesisir barat daya
Kalimantan yang pada periode selanjutnya menjadi negara kota. Kedua,
ketidakadaan keturunan dari penguasa terakhir Tanjungpura—seperti diceritakan
dalam Pararaton—menjadikan kerajaan ini berjalan tanpa kepemimpinan yang
sebagaimana mestinya.
Sukadana yang menempati ruang Selat Karimata dengan
daerah Kepulauan Maya-Karimata masih menjadi perhatian bagi kerajaan-kerajaan
lainnya. Pada 1622 Mataram melakukan penyerangan terhadap wilayah ini dengan
motivasi penguasaan sumber komoditi. Sukadana memiliki sumber biji besi yang
melimpah di Pulau Karimata. Komoditi ini menjadi primadona dalam perdagangan
baik lokal maupun regional. Selain itu, pelabuhan Sukadana merupakan pelabuhan
pengumpul berlian yang didapatkan dari daerah pedalaman (Reid, 2011:126;
Schrieke, 1960:29–31).
Pada perkembangan barikutnya, Sukadana mengalami
pasang surut baik dalam perdagangan maupun politik. Setelah terbebas dari
pengaruh Mataram, Sukadana menjadi vasal dari Kesultanan Banjarmasin (Cf. Schrieke,
1960:31). Selanjutnya, pada 1786 Sukadana mengalami keterpurukan akibat
serangan dari Sultan Pontianak yang dibantu dengan beberapa kapal VOC. Serangan
tersebut telah menghancurkan total Sukadana dan masyarakat yang mendiaminya
disebar ke beberapa daerah. Kekosongan Sukadana menjadi peluang bajak
laut (lanun) untuk menghuni wilayah ini. Namun, tidak
berselang lama Belanda kembali menyerang, dan pada 1822 tempat ini sama sekali
ditinggalkan (Veth, 2012:122).
Pada saat menjelang pecah Perang Dunia II, Jepang
telah merencanakan tiga fase perang. fase 1: menyerang dan merebut Nanyo yang
kaya yaitu daerah selatan yang kaya yaitu Nusantara/koloni Hindia Belanda,
Filipina, Malaya dan Burma serta daerah Pasifik. Fase 2: setelah diserang dan
direbut diperkuat dan mengisolasi diri dengan mengandalkan posisi benteng
pulau-pulau, dan fase ke-3: kekalahan musuh yang diakhiri dengan penjanjian
perdamaian. Belanda tentu tahu tentang rencana-rencana ini, dan setelah
penyerangan Pearl Harbor pada 8 Desember 1941, pada hari itu juga Belanda
mengumumkan menyatakan perang terhadap Jepang. (Onghokham, 2014:222–223).
Aspek Budaya
Selat Karimata dari sisi budaya berperan sangat besar
sebagai sarana yang menghubungkan masyarakat yang ada di kawasan ini dan
wilayah sekitarnya. Bicara perkembangan kebudayaan bercorak Hindu-Buddha di
kawasan Selat Karimata, sudah barang tentu tidak hanya menampilkan data
material dari Kepulauan Karimata tersebut. Namun lebih luas lagi harus
mengaitkan dengan wilayah lainnya di sekitar selat tersebut, baik Kalimantan,
Sumatera, dan Jawa. Khusus Kalimantan, meliputi daerah sepanjang pesisir Barat
Kalimantan yang membentang mulai dari Tanjung Datok-Sambas hingga daerah
Kendawangan-Ketapang yang berbatasan dengan Kotawaringin. Sumatera sendiri
meliputi daerah pesisir Timur Sumatera dan beberapa gugusan kepulauan yang ada,
seperti Kepulauan Bangka-Belitung. Sedangkan Jawa yang bersentuhan langsung
dengan selat ini yaitu daerah pesisir utara bagian barat. Jejak rekam panjang
yang menandakan hubungan tersebut terefleksikan dari tinggalan material
keagaamaan dari masa Hindu-Buddha.
Persebaran Budhisme
Indikasi kuat berkembangnya Buddha ditunjukkan dengan
temuan relief stupa dan inskripsi yang memuat mantra Buddha. Temuan pertama
yaitu temuan relief stupa yang mengandung inskripsi mantra Buddha yang
ditemukan di Situs Batu Pahat, tepi Sungai Tekarek, Desa Pahit, Kecamatan Nanga
Mahap. Dahulu wilayah ini masuk Kabupaten Sanggau; pada masa sekarang wilayah
tersebut menjadi bagian Kabupaten Sekadau, Provinsi Kalimantan Barat. Secara
geografis lokasi situs tersebut terhubungkan dengan Selat Karimata melalui
Sungai Kapuas.
Temuan relief stupa dan inskripsi tersebut pernah di
bahas oleh Chhabra dan ditinjau ulang oleh M.M. Sukarto K. Atmodjo dalam
tulisannya yang berjudul Beberapa Temuan Prasasti Baru di Indonesia (1994).
Dari situs tersebut diketahui bahwa pahatan yang ada pada sebongkah batu besar
di tepi Desa Pahit tersebut berisi 7 relief stupa lengkap dengan payungnya yang
disebut sebagai chattra, dan satu pahatan sebagai pattra.
Dari inskripsi tersebut diketahui bahwa yang dipahatkan di batu tersebut
adalah ye-te
mantra agama Buddha. Selain berisi japa mantra, prasasti tersebut memuat nama kerajaan yang ada di
Barat Daya Kalimantan yang diperkirakan sebagai Wijayapura, seperti tafsir
Wolters. Pada sepenggal bagian prasasti tersebut juga memuat angka tahun Caka
578 (Atmodjo, 1994:1–2). Cukup menarik bahwa penanggalan tersebut adalah
penanggalan tertua yang ditemukan di Kalimantan hingga saat ini.
Temuan relief stupa juga ditemukan di Situs Gunung
Totek, Pulau Maya. Temuan tersebut seperti di singgung di atas, berjumlah 2
relief stupa (Tim Penelitian, 2009 dan 2010). Relief stupa tersebut tidak
disertai inskripsi dan angka tahun seperti halnya di Situs Batu Pahit
Temuan inskripsi bercorak Budhisme beserta percandian
juga ditemukan di Situs Batujaya, Pantai Utara Jawa Barat. Berdasarkan
perbandingan inskripsi yang ada beserta temuan, lainnya menunjukkan kesamaan
dengan di Lembah Bujang, Kedah, Malaysia. Dan dapat dipastikan bahwa corak
keagamaan yang berkembang adalah agama Buddha Mahayana (Djafar, 2010:118–121).
Berbagai temuan artefak Buddha mulai dari Semenanjung Malaysia, Pulau Maya,
daratan Kalimantan Bagian Barat, Pantai Utara Jawa Barat, dan sudah barang
tentu pesisir Timur Sumatera, menunjukkan begitu kuatnya jaringan keagamaan
Buddha pada masa itu yang terhubungkan oleh adanya Selat Karimata.
Persebaran Vaisnawa
Perkembangan agama Hindu, seperti halnya agama Buddha,
juga berlangsung di sekitar Selat Karimata ini. Berkembangnya agama Hindu sudah
barang tentu didukung oleh adanya kekuasaan dan penduduk yang ada pada saat
itu. Yang menarik di sekitar Selat Karimata dan wilayah sekitarnya, yaitu
adanya temuan Arca Wisnu. Penemuan arca tersebut tersebar mulai dari Situs
Gunung Totek-Pulau Maya (Tim Penelitian, 2009), temuan arca Wisnu di Situs Kota
Kapur-Pulau Bangka (Marhaeni, 1997:17–29), dan Arca Wisnu di Cibuaya-Pantai
Utara Jawa Barat, yang dikenal sebagai Arca Cibuaya I, II, dan III (Djafar,
2010:1).
Berdasarkan langgam, temuan penyerta, dan
karakteristik tempat temuan Arca Wisnu tersebut, menunjukkan dahulunya di
kawasan ini ada pemujaan Dewa Wisnu (Herwanto, 2010), atau yang dikenal dengan
aliran Vaisnawa. Perkembangan aliran Vaisnawa ini hampir bersamaan dengan
perkembangan Buddha Mahayana, yang ada pada masa Tarumanegara dan awal
Sriwijaya.
Tradisi melaut era sesudahnya
Tradisi melaut, atau hal-hal yang berkenaan dengan
kemaritiman, masih dilakukan oleh masyarakat di sekitar Selat Karimata. Tradisi
tersebut antara lain berkenaan dengan tata cara bermukim di pantai, pembuatan
kapal dan kemampuan dalam hal menguasai navigasi laut. Masyarakat hingga kini
masih berprofesi sebagai nelayan, dengan berbargai tangkapan hasil laut, serta
meramaikan perdagangan antar pulau di Selat Karimata.
Berdasarkan pengamatan aktivitas kemaritiman di
kepulauan Karimata tersebut digerakkan oleh masyarakat Bugis, Melayu, Madura,
Banjar, dan Jawa. Aktivitas perdagangan tradisional dan penangkapan ikan laut
di Selat ini bergantung Musim. Pergantian musim berpengaruh terhadap bergeseran
penduduk dan aktivitas bermukim di Selat ini. Pergerakan dinamis masyarakat di
Selat Karimata ini membawa
Aspek Pertahanan Militer
Kepulauan Maya-Karimata memiliki kekuatan laut yang
mumpuni sebagai benteng alam. Kepadatan dan keadaan alami dari pulau-pulau di
kepulauan ini memberikan aspek keamanan bagi penghuni pulau. Jumlah pulau yang
banyak dan mengelompok menjadi beberapa gugusan membuat selat-selat pemisah antarpulau
seperti labirin. Kondisi ini akhirnya memungkinkan daerah kepulauan ini menjadi
daerah persembunyian. Didukung pula banyaknya teluk-teluk tertutup oleh bakau
dan akses menuju pantai yang tertutup lumpur atau terumbu karang yang dangkal
membuat kapal besar tidak bisa mendarat. Selain itu, karakter umum yang
dimiliki penduduk kepulauan ini memberi dukungan terhadap sistem pertahanan
alami.
Serangan Mongolia atas Jawa pada akhir abad ke-13 yang
dicatat dalam Sejarah Dinasti Yuan telah menempatkan daerah kepulauan di Selat
Karimata sebagai tempat singgah dalam perjalanan. Catatan Shi Bi, Sejarah
Dinasti Yuan Buku 162 yang menyatakan:
Angin bertiup sangat kencang dan lautan begitu
bergelombang sehingga kapal terombang-ambing. Para prajurit tidak bisa makan
selama berhari-hari. Mereka melewati Samudra Tujuh Pulau (Kepulauan Paracels)
dan Long Reef (Macclesfield Bank). Mereka melewati tanah Jiaozhi dan Campa.
Pada bulan pertama tahun selanjutnya, mereka tiba di kepulauan Dong Timur
(Natuna?), Kepulauan Dong Barat (Anamba?) memasuki Samudra Hindia (?), dan
berturut-turut tiba di Pulau Zaitun (?), Karimata, dan Gao-lan (Belitung). Di
sana mereka berhenti dan menebang pohon untuk membuat perahu kecil yang akan
digunakan memasuki sungai (Groeneveldt, 2009:36)
Berdasarkan catatan tersebut, Groeneveldt (2009:45–46)
memberikan analisis bahwa armada Mongol tidak mengikuti jalur biasa yang
menyusuri Malaka dan Sumatera. Armada ini menuju Laut Jawa dengan mengambil
jalan pintas. Oleh karena itu, cukup sulit untuk mengidentifikasi nama-nama
pulau yang telah dilaluinya. Namun, dapat dipastikan bahwa armada ini pasti
melewati Selat Karimata dan mencapai Pulau Ge-lan atau Gaolan untuk memerbaiki
kapal yang rusak dan membuat perahu kecil.
Uraian Sejarah Dinasti Yuan berikut hasil analisis
tersebut di atas tampaknya menguatkan keberadaan prasasti Pasir Cina dan
prasasti Pasir Kapal di Pulau Serutu. Pada prasasti Pasir Kapal terdapat frasa Da Yuan Guo (Da dalam google
translator diartikan ‘besar’ sedangkan Guo adalah
‘negara’). Istilah Yuan sebagai sinonim dari ‘mahamulia’, ‘asli’,
‘pertama’, dan ‘agung’ muncul pertama kali ketika Kubilai menyatakan dirinya
sebagai seorang Khan pengganti Monkhe dari Mongolia. Istilah ini secara resmi
digunakan sebagai nama dinasti yang dipimpin oleh Kubilai Khan pada Desember
1271 (Man, 2010:131). Dinasti ini berkiprah dalam kronik sejarah Cina antara
1271–1368 M. Berdasarkan hal tersebut maka Da Yuan Guo dapat diartikan sebagai ‘Dinasti Yuan yang
besar’.
Dalam uraian selanjutnya—pada teks yang terbaca—disebutkan
pula adanya utusan atau caraka, 500 kapal kecil dan penanggalan tahun ke-30
bulan Januari dan tanggal 18. Teks prasasti tersebut kiranya memerkuat dugaan
keberadaan dari armada Mongol yang telah berlabuh di Pulau Serutu. Oleh karena
itu, perlu ditinjau lagi toponimi Gao-lan yang diidentifikasi sebagai Pulau
Belitung. Disebutkan dalam berita Cina tersebut bahwa di pulau ini mereka
menebang kayu untuk membuat kapal kecil. Artinya armada tersebut memerlukan
waktu mulai dari menebang kayu sampai membuat kapal bahkan mengisi ulang
logistiknya. Dari hal tersebut muncul permasalahan bagaimana menyembunyikan
armada ratusan kapal dengan ribuan prajurit tanpa terdeteksi keberadaannya oleh
militer Jawa?
Posisi Belitung berada di jalur yang ramai, atau berada
pada jalur perniagaan, dan cukup dekat dengan Sumatera. Hal ini akan berdampak
terhadap diketahuinya secara langsung keberadaan armada ini oleh militer Jawa
mengingat di Sumatera juga telah berlangsung ekspedisi Pamalayu. Kiranya
pendaratan tersebut lebih memungkinkan dilakukan di Kepulauan Karimata.
Terlebih lagi daerah ini memunyai topografi dan sumber daya alam yang mencukupi
sebagai benteng alam. Gugusan pulau-pulau dengan teluk-teluk yang dipenuhi
bakau cukup digunakan untuk menyembunyikan armada ini agar tidak terdeteksi
oleh musuh. Daerah pegunungan di Pulau Karimata juga mampu mendukung kebutuhan
logistik selama ekspedisi.
Pulau Serutu yang berada dalam gugusan Kepulauan
Karimata memiliki sumber daya air tawar untuk keperluan logistik. Dalam prasasti
Pasir Cina telah dipahatkan dalam tebing batu frasa “Quan Shi” yang berarti
‘air mancur’ dan “Qing” berarti ‘bersih’. Sampai hari ini sumber air tawar
tersebut masih digunakan oleh penduduk yang bermukim untuk mencukupi kebutuhan
akan air bersih. Sumber daya kayu untuk pembuatan kapal juga disediakan di
daerah kepulauan. Salah satu kayu yang sering digunakan oleh penduduk saat ini
untuk membuat perahu adalah kayu resak (Vatica, spp).
Pergulatan politik Kepulauan Maya-Karimata pada
periode berikutnya memberikan gambaran nilai penting dari geografis wilayah
ini. Dalam geoekonomi daerah ini berfungsi sebagai kontrol jalur pelayaran dan
perdagangan. Namun, dalam geostrategi militer Kepulauan Maya-Karimata menjadi
“pintu benteng” pertahanan untuk memasuki zona Laut Jawa. Pertimbangan tersebut
kemungkinan dilakukan baik oleh Gajah Mada maupun Patih Unus untuk menguasai
kawasan ini.
Kemerosotan perekonomian dan perpolitikan daerah
Kepulauan Maya-Karimata akibat kapitalisme dan imperialime Belanda menjadikan daerah
ini tidak lagi diperhatikan oleh Gubernemen Belanda. Oleh karena itu, para
bajak laut yang beroperasi di Selat Karimata mengambil alih kepulauan ini
sebagai benteng persembunyiannya. Bahkan, Kepulauan Karimata mendapat julukan
kepulauan rendezvous (pertemuan kembali) karena berfungsi sebagai
tempat berkumpul bajak laut sebelum kekuatan mereka diperairan dipatahkan
(Veth, 2012:126). Berikut ini gambaran umum mengenai bajak laut di Pulau
Karimata.
Untuk perjalanan perampokan mereka hanya memiliki dua
kapal, setiap kapal diisi dengan 2 meriam, dan dengan ini mereka bersama dengan
orang laut dari Belitung setiap tahun waktu musim timur, melakukan perjalanan
perampokan ke pantai utara Jawa. Kepala mereka, Batin Galang yang dikatakan
dilindungi oleh raja-raja Matan dan Simpang…..(Veth, 2012:320).
Di masa kolonialisme Belanda, sebelum penyerangan Pearl Harbor terjadi,
sebenarnya Belanda berharap pada 2 negara besar dalam menghadapi ovensif Jepang
di kawasan Asia Tenggara, yaitu Inggris dan Amerika Serikat. Bak mendapat
‘pepesan kosong’ sehingga Hindia Belanda seakan berjuang sendiri. Kesepakatan
awal, memang kedua negara (Inggris dan Amerika) sepakat bahwa mengenai Asia
Tenggara dan Pasifik terhadap ofensif Jepang hanya defensif saja, dan tenaganya
akan disimpan untuk menghadapi di Eropa. Belanda akhirnya tidak berharap banyak
terhadap peran Inggris dan Amerika. Selanjutnya harapan bertumpu, khususnya
pada angkatan lautnya untuk memertahankan Jawa dan Kalimantan yang kaya minyak.
Teknologi dan peralatan tempur dan kapal-kapal Belaada yang usang memermudah
pihak Jepang menguasainya. Suatu hal yang perlu diingat bahwa, saat itu Belanda
menyadari terkait keadaan geografis dan situasi perang, maka tugas-tugas yang
berat terletak pada angkatan laut dan angkatan udara. Belanda melengkapi dengan
3 kapal perusak, 6 kapal buru terpedo, 11 kapal selam, disamping membangun
lapangan terbang baru dan menyediakan pesawat-pesawat tempur ( Onghokham,
2014:264). Salah satu lapangan terbang yang dibangun adalah lapangan terbang di
Singkawang, Kalimantan bagian barat untuk mengawasi Selat Karimata (Onghokham,
2014:266)
Sumber : https://kebudayaan.kemdikbud.go.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar